Jakarta : Wakil Ketua Komisi I DPR Bidang Pertahanan
Keamanan, Tubagus Hasannudin menyayangkan sikap TNI Angkatan Udara (AU)
yang lebih memilih menggunakan pesawat tempur hibah ketimbang pesawat
baru.
Menurut Hasannudin keputusan TNI AU bisa mempermalukan citra pertahanan Indonesia. "Hibah itu terkesan kita ini negara tidak mampu. Cuma bisa pakai yang bekas," kata Hasannudin ketika dihubungi di Jakarta, Jumat (7/6/2013).
Hasannudin mengatakan, Komisi I DPR sebenarnya sudah menyetujui rencana strategi TNI AU membeli pesawat tempur baru. Menurut Hasanudin, pada 2011, TNI AU akan membeli 6 unit pesawat tempur F 16 blok 52 terbaru dengan total harga US$ 600 juta.
Namun tiba-tiba rencana itu dibatalkan Kepala Staf TNI AU. "KASAU tiba-tiba memutuskan menerima hibah 24 pesawat F 16 (bekas US National Guard)," kata politisi PDIP itu.
Hasannudin menjelaskan, pesawat hibah yang diterima TNI merupakan pesawat bekas yang sudah tidak lagi digunakan Angkatan Udara Amerika Serikat. Pesawat-pesawat itu, kata dia, sudah lama teronggok di Gurun Arizona.
Atas nama penghematan, TNI AU malah mengeluarkan biaya lebih besar untuk pesawat tempur hibah. "TNI AU akhirnya harus mengeluarkan anggaran US$ 700 juta untuk peremajaan," sesal Hasannudin.
Langkah TNI menerima pesawat hibah tidak tepat dari sisi strategi pertahanan dan efisiensi anggaran. Hal ini karena ongkos perawatan pesawat-pesawat tempur tua itu lebih mahal ketimbang yang baru. Di sisi strategi pertahanan, teknologi pesawat tempur tua juga tidak lagi mumpuni.
"Dari jumlah pesawat mungkin bertambah. Tapi dari efek daya tangkal terhadap sistem pertahanan udara hampir tak ada artinya karena negara-negara sekitar kita pun sudah mau meng-grounded-kan pesawat-pesawat tua ini," kata Hasannudin.
Kasus semacam ini menurut Hasannudin pernah dilakukan TNI Angkatan Laut pada 1991. Kala itu TNI AL menerima kapal laut tempur bekas dari Jerman Timur. Akibatnya, negara harus mengeluarkan anggaran yang tak sedikit untuk merawat kapal-kapal tempur tua itu. "Sekarang kapal-kapal itu menjadi beban pemeliharaan selamanya. Tapi sudah tak efisien dan efektif lagi untuk dipakai," ujarnya.
Hasannudin curiga ada pihak yang bermain dalam proses hibah 24 pesawat tempur bekas ke TNI AU. Hal itu menurutnya bisa saja terjadi mengingat proses perawatan dan pembelian komponen cadangan yang mesti menggunakan perantara pihak ketiga.
Dia berharap ke depan pemerintah dan DPR bisa duduk bersama membuat definisi yang benar apa pengertian hibah. "Agar hibah benar-benar hibah murni. Tak ada motif politik negara lain sifatnya mengikat. Apalagi hanya menguntungkan calo," tegas Hasanuddin. (Ary/Mut)
Menurut Hasannudin keputusan TNI AU bisa mempermalukan citra pertahanan Indonesia. "Hibah itu terkesan kita ini negara tidak mampu. Cuma bisa pakai yang bekas," kata Hasannudin ketika dihubungi di Jakarta, Jumat (7/6/2013).
Hasannudin mengatakan, Komisi I DPR sebenarnya sudah menyetujui rencana strategi TNI AU membeli pesawat tempur baru. Menurut Hasanudin, pada 2011, TNI AU akan membeli 6 unit pesawat tempur F 16 blok 52 terbaru dengan total harga US$ 600 juta.
Namun tiba-tiba rencana itu dibatalkan Kepala Staf TNI AU. "KASAU tiba-tiba memutuskan menerima hibah 24 pesawat F 16 (bekas US National Guard)," kata politisi PDIP itu.
Hasannudin menjelaskan, pesawat hibah yang diterima TNI merupakan pesawat bekas yang sudah tidak lagi digunakan Angkatan Udara Amerika Serikat. Pesawat-pesawat itu, kata dia, sudah lama teronggok di Gurun Arizona.
Atas nama penghematan, TNI AU malah mengeluarkan biaya lebih besar untuk pesawat tempur hibah. "TNI AU akhirnya harus mengeluarkan anggaran US$ 700 juta untuk peremajaan," sesal Hasannudin.
Langkah TNI menerima pesawat hibah tidak tepat dari sisi strategi pertahanan dan efisiensi anggaran. Hal ini karena ongkos perawatan pesawat-pesawat tempur tua itu lebih mahal ketimbang yang baru. Di sisi strategi pertahanan, teknologi pesawat tempur tua juga tidak lagi mumpuni.
"Dari jumlah pesawat mungkin bertambah. Tapi dari efek daya tangkal terhadap sistem pertahanan udara hampir tak ada artinya karena negara-negara sekitar kita pun sudah mau meng-grounded-kan pesawat-pesawat tua ini," kata Hasannudin.
Kasus semacam ini menurut Hasannudin pernah dilakukan TNI Angkatan Laut pada 1991. Kala itu TNI AL menerima kapal laut tempur bekas dari Jerman Timur. Akibatnya, negara harus mengeluarkan anggaran yang tak sedikit untuk merawat kapal-kapal tempur tua itu. "Sekarang kapal-kapal itu menjadi beban pemeliharaan selamanya. Tapi sudah tak efisien dan efektif lagi untuk dipakai," ujarnya.
Hasannudin curiga ada pihak yang bermain dalam proses hibah 24 pesawat tempur bekas ke TNI AU. Hal itu menurutnya bisa saja terjadi mengingat proses perawatan dan pembelian komponen cadangan yang mesti menggunakan perantara pihak ketiga.
Dia berharap ke depan pemerintah dan DPR bisa duduk bersama membuat definisi yang benar apa pengertian hibah. "Agar hibah benar-benar hibah murni. Tak ada motif politik negara lain sifatnya mengikat. Apalagi hanya menguntungkan calo," tegas Hasanuddin. (Ary/Mut)