Bila kita cermati, saat ini elemen CAS (close air support)
di lingkungan TNI AU dan TNI AD sudah cukup meningkat dari segi
kualitas. Selama tiga dekade belakangan, dukungan BTU (Bantuan Tembakan
Udara) di lingkup operasi TNI kebanyakan masih bersandar pada senjata
jenis kanon, bom, dan roket. Kini meski secara kuantitas masih terbatas,
elemen BTU yang dimuntahkan dari pesawat tempur dan helikopter TNI
sudah merujuk pada kehadiran sosok rudal.
Dari segi jenis misalnya, TNI AU sejak tahun 1990 sudah memiliki AGM-65G Maverick, jenis rudal air to ground missile
yang punya kualifikasi penghancur sasaran lapis baja dan beton. AGM-65G
Maverick dapat dilepaskan dari jet tempur TNI AU, yakni F-16 Fighting
Falcon dan Hawk 100/200. Kemudian ada lagi rudal AT-9 Sprial-2 (Ataka),
ini merupakan rudal penghancur sasaran tank. AT-9 yang dibeli pada
tahun 2010 disiapkan menjadi senjata andalan pada heli serbu Mi-35P
Penerbad TNI AD. Dari segi daya deteren, boleh jadi rudal-rudal diatas
cukup memadai, tapi bagaimana jika yang dihadapi TNI masih sebatas
konflik dalam skala kecil dan menengah? Apalagi potensi konflik terbesar
masih berupa pemberotakan di Dalam Negeri.
Melihat peta konflik yang ada, ditambah sangat mahalnya harga satu unit rudal, menjadikan gelar rudal untuk close air support
kurang efisien. Sebagai gambaran, menurut salah seorang awak heli
Mi-35P saat Pameran Alutsista TNI AD (November 2012) di Lapangan Monas,
disebutkan bahwa rudal ini belum pernah sekalipun di uji tembakan,
karena harga per unitnya yang mahal. Mudah-mudah saat tulisan ini di
posting, sudah ada uji tembak rudal tersebut. Untuk Maverick, TNI AU
secara terbatas pernah melakukan uji tembak dari F-16 dan Hawk 200.
Melihat kasus diatas, dalam konteks saat ini racikan BTU masih prioritas pada kombinasi kanon, bom, dan roket. Dari ketiga elemen senjata tadi, roket adalah salah satu yang punya efek dan daya hancur cukup besar. Dan uniknya, roket yang dipakai, baik pada helikopter serbu TNI AD dan pesawat tempur TNI AU, mengacu pada jenis yang sama, yaitu roket FFAR (Folding Fin Aerial Rocket ) 2,75 Inchi kaliber 70mm . Dilihat dari namanya, roket ini sejatinya memang dirancang awal untuk dilepaskan dari wahana udara, dan punya rancangan berupa sirip lipat yang akan mengembang saat ditembakkan. Dan yang cukup penting, FFAR merupakan jenis alutsista yang telah mampu di produksi di Dalam Negeri dalam jumlah cukup besar.
Merujuk dari sejarahnya, roket ini dikembangkan pada akhir 1940 oleh
US Naval Ordnance Test Center dan North American Aviation. Versi
pertamanya, MK4 disebut juga sebagai Mighty Mouse dan telah malang melintang dalam banyak jagad pertempuran. Desain awalnya roket ini untuk menggasak sasaran di udara (air to air rocket).
Adopsi roket FFAR untuk pertempuran udara ke udara cukup masif
digunakan dalam Perang Korea. Kemudian seiring permbangan, FFAR lebih
banyak difungsikan untuk melibas target di permukaan. Dengan pola
tembakan salvo, FFAR yang dilepaskan dari helikopter dan pesawat tempur
mampu merobek basis pertahanan musuh.
Pengguna terbesar roket FFAR adalah TNI AU, sejak masih menyandang
nama AURI, roket ringan ini telah digunakan pada jenis pesawat tempur
propeller, yakni P-51D Mustang “Cocor Merah” , pembom B-26 Invader, dan OV-10F Bronco. Di lini jet tempur, FFAR menjadi senjata andalan di A-4E Skyhawk, F-5E/F Tiger II, dan Hawk 100/200. Masih dalam paying TNI AU, helikopter SA-330 Puma Skadron Udara 8
juga bisa dilengkapi dua dispenser/peluncur FFAR. Kavaleri udara TNI
AD juga akrab dengan FFAR, paling sering tampil dengan pod/dispenser
FFAR adalah heli NBO-105, tak ketinggalan helikopter Bell 205-A1 dan NBell-412 juga sanggup menggotong dispenser FFAR.
Tiap-tiap pesawat dan helikopter punya jenis peluncur FFAR yang
berbeda. Dari perbedaan peluncur juga berpengaruh pada kapasitas roket
yang dibawa. Seperti pada OV-10F Bronco, pesawat tempur anti gerilya
ini biasa membawa 2 dispenser (tipe XM157 Rocket Pod), masing-masing
dispenser berisi 7 roket. Sementara NBO-105 Penerbad menggunakan jenis
pod T.905 yang berisi 12 roket. Bagaimana dengan spesifikasi FFAR? Untuk
tipe MK4, roket dengan bobot 5 kg serta panjang 1005,9 mm ini dapat
melesat dengan kecepatan 600 meter per detik, sementara jarak jangkau
hingga 6.000 meter.
Masuk dalam kategori sistem MLRS (multiple launch rocket system),
FFAR memang baru terasa keganasannya dalam pola tembakan salvo. Di
tahun 1987, PT. Dirgantara Indonesia membuat platform MLRS untuk FFAR,
yakni NDL-40 untuk keperluan TNI AD, dan di tahun 2005 juga dibuat untuk
versi di kapal perang TNI AL. NDL-40 bisa meluncurkan 40 roket dari 40
tabung luncurnya secara salvo dengan selang 0,1 sampai 9,9 detik untuk
tiap roketnya. Dengan kemampuan ini NDL-40 mampu meluluh-lantakan sebuah
daerah seluas 200m x 300 meter dalam sekejab. Jangkauan terjauh dari
senjata ini hanya 6 km namun demikian bila menggunakan roket khusus
jangkauan bisa bertambah menjadi 8 km.
Di pentas internasional FFAR sudah tak terbilang banyaknya digunakan,
di lingkup Indonesia pun roket ini laris manis dalam laga operasi
militer. Kedahsyatan roket ini setidaknya pernah dirasakan oleh Fretilin
dalam operasi Seroja. Di operasi Seroja sekitar tahun 80-an A-4
Skyhawk, F-5E Tiger II dan OV-10F Bronco kerap memberi BTU pada pasukan
infantri, selain menggunakan kanon dan bom, FFAR juga turut disertakan.
Di periode operasi Seroja, memang TNI AU juga belum mempunyai jet tempur
yang bisa melontarkan rudal AGM (air to ground missile).
Selanjutnya FFAR juga terlihat digunakan dalam operasi penumpasan GAM
(Gerakan Aceh Merdeka), NBO-105 TNI AD membuka serangan pada perkubuan
GAM dengan kombinasi kanon dan roket FFAR.
Selain bom udara, roket FFAR adalah bagian dari alutsista yang telah
mampu diproduksi di Dalam Negeri. Debut produksi FFAR di Indonesia
sudah dimulai pada tahun 60-an, proyek dengan sandi “Proyek Menang,”
karena basis produksi awalnya di di Desa Menang, Madiun – Jawa Timur.
Saat itu sebagai pelaksana yang ditunjuk langsung oleh KSAU Omar Dhani,
Deputi Logistik Budiardjo terpaksa mengalihkannya ke lain tempat karena
keterbatasan fasilitas di Desa negara di Eropa. Proyek ini menghasilkan
roket-roket yang kemudian menjadi senjata andalan pesawat P-51D Mustang
AURI. Proyek ini berawal dari transfer of technology dari roket Lesca buatan Eropa Timur.
Kemudian di era PT Nurtanio (sekarang PT. Dirgantara Indonesia), FFAR
2,75 inchi mulai diproduksi setelah mendapat lisensi pada tahun 1981.
Lisensinya bukan dari AS, melainkan dari Force de Zeeburg Belgia. Hingga
kini roket ini masih diproduksi oleh Divisi Senjata PT. Dirgantara
Indonesia. Berdasarkan informasin pada tahun 2007, PT. DI dapat
memproduksi FFAR hingga kapasitas 10.000 unit per tahun dalam satu shift
kerja, bila dalam dua shift kerja, kapasitas produksi dapat digenjot
hingga 20.000 roket per tahun.
PT. DI membuat dua varian dari roket ini, yakni RD 701 berbasis FFAR
Mk 4 dan RD 7010 berbasis FFAR Mk 40. RD 701 digunakan pesawat tempur (
hi-speed aircraft ), sedang RD 7010 untuk Helikopter (low-speed
aircraft). PT DI juga membuat beberapa jenis hulu ledak untuk roket ini.
Diantaranya WD 701 (HE), WD 703 (smoke) dan WD 704 (inert).
Meski sudah bisa diproduksi di Dalam Negeri, bukan berarti proses
produksi lepas dari tantangan. 60% komponen FFAR memang telah dibuat di
Dalam Negeri, tapi sisanya masih harus di impor, yakni propelan atau
bahan bakar roket. Padahal komponen terakhir ini sangat penting,
terutama untuk membangun alutsista di lini roket dan rudal. (Bayu Pamungkas/diolah dari berbagai sumber)
Sumber : http://indomiliter.com/2013/07/14/ffar-275-inchi-ujung-tombak-bantuan-tembakan-udara-tni-au-tni-ad/